PANGKALPINANG, BERITA-FAKTA.COM – Di tengah hiruk pikuk Pangkalanbaru, sebuah nisan tua berdiri tegak, bak saksi bisu yang gigih merangkai benang sejarah. Inilah makam Horatio Nelson Levyssohn, seorang Asisten Residen dan Administrator Tambang Timah, yang nisannya seolah berbicara tentang era keemasan timah di Bangka. Namun, di balik keagungan makam ini, tersimpan pula kisah pilu tentang serpihan sejarah yang telah pupus ditelan modernisasi, termasuk makam Sersan Kempe yang kini hanya tinggal nama.
Menurut Dato’ Akhmad Elvian, seorang sejarawan dan budayawan Bangka Belitung yang tak pernah lelah menyelami lautan sejarah, keberadaan makam Horatio Nelson Levyssohn adalah sebuah permata yang tak ternilai. “Salah satu sumber sejarah tertulis tentang digabungnya Distrik Sungailiat dan Merawang adalah ditemukannya struktur makam Belanda yang masih tersisa hingga sekarang,” ungkap Elvian, matanya memancarkan cahaya pengetahuan.
Makam ini, yang menjulang bagai tugu di persimpangan Jalan Depati Amir dan Jalan Jenderal Sudirman Sungailiat, tepatnya beberapa meter dari Terminal Sungailiat dan pusat perbelanjaan Puncak, adalah sebuah penanda waktu. Dengan tinggi 197 cm dan lebar 95 cm, makam ini adalah sebuah museum mini yang menyimpan jejak kehidupan seorang pejabat kolonial. Nisannya yang terbuat dari marmer, bagai lembaran buku tua, mengukir riwayat singkat Horatio Nelson Levyssohn:
“Hier rust in vrede Horatio Nelson Levyssohn Adsistent Resident & Administrateur der Tinmynen van Soengy-Leat en Marawang. Geb. te Rotterdam 6 Mei 1804 overleden te Soengy-Leat den 2 Agustus 1845 Diep betreurd door jyuen broeder Joseph Henry Levyssohn, Sc Zec.”
Sebuah terjemahan kasar akan membisikkan: “Di sini berbaring dengan tenang Horatio Nelson Levyssohn. Asisten Residen dan Administrator Tambang Timah di Soengy-Leat (Sungailiat) dan Marawang (Merawang). Lahir di Rotterdam (Belanda) 6 Mei Tahun 1804, wafat di Soengy-Leat tanggal 2 Agustus 1845, yang sangat berduka, adiknya Joseph Henry Levyssohn.” Inisial Sc Zec, bagai kode misterius, mungkin mengisyaratkan pembuat nisan yang tak dikenal.
Sayangnya, takdir tak seindah harapan. Dua makam lain yang dahulu bersemayam dekat Horatio Nelson Levyssohn, kini telah menjelma menjadi kenangan semata, lenyap tanpa jejak. Pembangunan jalan raya, bagai raksasa yang lapar, telah menelan mereka hidup-hidup.
Catatan Budingh (1852-1857:60) menjadi satu-satunya jendela ke masa lalu yang suram ini, menguak kisah salah satu makam yang hilang: “…aan wijst, en waarop onder anderen ook een voormalig Sergeant der bezetting van Soengi-liat, met name Kempe, begraven ligt , die hier in Julij 1845, ten gevolge van het Amok van cen’ fanatieken Muhamedaan, een gewelddadigen dood stierf.”
Budingh seolah berbisik dari masa lalu, menceritakan bahwa di dekat makam Horatio, bersemayam pula seorang mantan Sersan pendudukan Soengi-liat bernama Kempe. Ia, bagai daun kering yang gugur, meninggal secara tragis pada Juli 1845 akibat amuk seorang pengikut Muhammad yang fanatik. Sebuah takdir yang kejam, mengakhiri hidupnya di tanah rantau.
Pada sekitar tahun 1900, makam Horatio Nelson Levyssohn berada tepat di depan Sociteit Phoenix te Soengy Leat. Namun, ada hal yang menggelitik benak para sejarawan: makam ini terletak jauh di luar area pemakaman umum atau kerkhof Sungailiat. Elvian, dengan kening berkerut, mencoba merangkai teka-teki ini. “Kemungkinan, pemerintah Hindia Belanda ingin membangun kompleks makam khusus bagi pejabat bestuur dan tinmynen di luar kerkhof yang sudah ada,” ujarnya. “Atau mungkin, ada keyakinan atau agama yang dianut Horatio Nelson Levyssohn yang mengharuskan makamnya terpisah dari yang lain.”cetusnya
Keunikan lain dari makam Horatio Nelson Levyssohn adalah detail yang terukir pada nisannya. Dari sekian banyak makam Belanda yang ditemukan di berbagai distrik di Pulau Bangka, makam ini adalah satu-satunya yang secara gamblang mencantumkan jabatan penting almarhum selama hidupnya: Asisten Residen (di Pulau Bangka) dan Administrator Tambang Timah di Soengy-Leat (Sungailiat) dan Marawang (Merawang). Sebuah nisan yang tak hanya menjadi kuburan, melainkan juga sebuah arsip hidup yang bercerita tentang kekuasaan dan industri di masa lalu.
Kini, makam Horatio Nelson Levyssohn tetap berdiri, sebuah titik kecil namun berarti dalam peta sejarah Bangka Belitung. Ia adalah pengingat bahwa masa lalu, meskipun terkadang tersembunyi, tak akan pernah benar-benar mati. Apakah kita akan terus membiarkan jejak-jejak berharga ini terkikis zaman?. (MJ001)











