PANGKALPINANG, BERITA-FAKTA.COM – Bak duri dalam daging, dugaan ketidakberesan pengelolaan keuangan Bank Sumsel Babel kembali mencuat ke permukaan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Babel, Rina Tarol, anggota legislatif dari Bangka Belitung, melontarkan kritik pedas yang menusuk jantung manajemen bank daerah tersebut. Ia menyayangkan sikap Bank Sumsel Babel yang terkesan “menganaktirikan” Provinsi Babel, seolah Bumi Serumpun Sebalai hanya menjadi ladang pengurasan dana semata.
“Bank Sumsel Babel menyebut Babel seperti anak tiri!” seru Rina, bak singa betina yang marah melihat wilayahnya dizalimi. Angka fantastis Rp 860 miliar biaya operasional yang tak jelas rinciannya, serta Rp 62 miliar untuk biaya promosi yang tak dirasakan gaungnya oleh masyarakat Babel, menjadi sorotan utama. “Bayangkan saja, mau kredit saja sudah uang Babel dipakai daerah lain. Berarti ini hancur-hancur!” imbuhnya, gestur tangannya menggambarkan kehancuran yang nyata.
Rina tak sungkan menuding adanya praktik “bakso-baksoan” atau modus tersembunyi yang berpotensi mengurangi deviden yang seharusnya menjadi hak daerah. Ia menyoroti keanehan bunga bank yang berada di bawah BI Rate 5,5%, serta pemberian fasilitas kepada ASN yang jumlahnya tidak seberapa. “Ini jelas nih caranya melanggar aturan nih,” tegasnya, memperingatkan bahwa praktik semacam itu adalah pelanggaran hukum.
Lebih lanjut, Rina mempertanyakan mengapa dana masyarakat Babel yang tersimpan di Bank Sumsel Babel tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Babel itu sendiri. “Maksudnya Babel dong semuanya yang menikmati,” ujarnya penuh harap, “pokoknya aturannya saja.”
Politikus perempuan ini juga membeberkan temuan mencengangkan lainnya. Ada empat bank Sumsel yang mengendap di pendidikan, serta 10 bank Sumsel dengan 46 debitur yang bermasalah. Yang lebih membingungkan, Rina mendapatkan informasi bahwa kredit-kredit bermasalah ini justru diberikan kepada koperasi di Lampung dan Jambi. “Agak aneh, Pak. KUR kami, maka orang masyarakat debitur kita pinjam, penjualan duit KUR, setelah mati di Bank Sumselnya, Pak. Ini aneh, ini agak sedikit aneh Bank Sumselnya,” ungkap Rina, menampakkan keheranannya.
Ia juga menyuarakan keluhan dari Perkreditan Rakyat di Bangka Belitung yang merasa dianaktirikan oleh Bank Sumsel Babel. Menurut penuturan mereka, meskipun Bank Sumsel Babel mendapatkan limpahan dana besar, mereka tidak membutuhkan uang dari BPR Babel. “Segitu sedihnya kami Bank BPR itu. Pak bayangin KUR-nya Bank setengah itu lagi melaju. Hei, dengar nih Pak media. Lucu kan? Kami Bank BPR itu rakyatnya, bank kami yang mau minjem KUR, ngajarinnya setengah mati. Itu tidak dapat-dapat,” keluh Rina, menyuarakan jeritan hati bank-bank daerah kecil.
Rina Tarol kembali menyoroti laporan keuangan Bank Sumsel Babel yang menunjukkan biaya lain-lain mencapai Rp 860 miliar, nyaris menyentuh angka satu triliun. “Biaya promosi 62 miliar. Saya pindahin, biaya lainnya, biaya lainnya apa?” tanyanya, nada suaranya penuh selidik. Ia khawatir biaya-biaya tak jelas ini hanya menjadi modus untuk mengurangi deviden yang seharusnya diterima daerah. “Kami minta penjelasannya, biaya operasional sampai 860 miliar ini atas apa saja sebenarnya, Pak?” tegasnya, menuntut transparansi.
Tak hanya itu, Rina juga mengkritisi minimnya transparansi dalam proses pengadaan di Bank Sumsel Babel. “Kami nggak pernah lihat Bank Sumsel itu mengadakan lelang yang terbuka,” ungkapnya. Padahal, menurut aturan, semua pengadaan seharusnya diumumkan secara terbuka.
Rina berharap agar penjelasan detail mengenai biaya operasional dan promosi yang fantastis ini segera diberikan. Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah provinsi dan kabupaten untuk lebih peduli terhadap kondisi Bank Sumsel Babel, agar bank daerah ini benar-benar menjadi milik masyarakat, bukan segelintir elite. “Jangan kepentingan kepala daerah. Jangan kepala daerah yang bisa mengeluarkan Bank Sumsel. Masyarakatnya enggak bisa,” pungkas Rina, menyuarakan aspirasi rakyat yang ingin merasakan manfaat nyata dari keberadaan Bank Sumsel Babel. (MJ001)











