Drama Hukum di Tapin: Saat Keadilan Bagai Fatamorgana di Tengah Pusaran Birokrasi

oleh -159 Dilihat
oleh
banner 468x60

RANTAU, BERITA-FAKTA.COM – Sebuah kisah hukum bak labirin terkuak di Pengadilan Negeri Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Winda Asriany, ditemani dua kuasa hukumnya, menjejakkan kaki di medan perang peradilan, menghadiri proses Inzage yang seharusnya menjadi gerbang transparansi, namun justru menyimpan misteri dan kejanggalan.

 

banner 336x280

Winda dan sang suami, Jhon Akang Saragih, laksana nahkoda di tengah badai, berjuang mempertahankan hak atas “pulau” kecil mereka, sebidang lahan seluas 7.409 meter persegi di Desa Margasari Hilir. Tanah ini, yang seharusnya menjadi jangkar ketenangan mereka, kini terombang-ambing di lautan gugatan oleh PT Kharisma Alam Persada (KAP) melalui perkara Nomor 11/Pdt.G/2024/PN.Rta sejak Oktober 2024.

 

“Ketidakselarasan bagai irama sumbang dalam simfoni hukum,” ujar Winda, menggambarkan proses Inzage yang diwarnai paradoks waktu. Surat panggilan dari PN Rantau bertanggal 17 Juli 2025, datang bak tamu tak diundang pada 21 Juli 2025, hanya menyisakan sehari bagi Winda untuk memverifikasi berkas sebelum tenggat 24 Juli 2025. “Durasi 7 hari yang tertulis, berbanding terbalik dengan 14 hari dalam SOP resmi PN Rantau. Segalanya tak sinkron, bak roda gigi yang tak berputar seirama,” keluh Winda kepada awak media di Rantau.

 

Ia menambahkan, unek-uneknya telah tertumpah ruah kepada petugas PTSP PN Rantau, yang terjebak dalam kebingungan serupa di antara SOP dan surat yang ada.

 

Seolah menari di atas bara panas, Winda berharap Ketua Pengadilan dapat menyingkap tabir keadilan terkait putusan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dianggap tak mengikat secara hukum akibat perjanjian pinjam nama (Nominee). “Saya mencari bukti perjanjian pinjam nama itu, namun bak mencari jarum di tumpukan jerami, tak kunjung ditemukan,” ungkap Winda, matanya memancarkan kekecewaan.

 

Begitu pula dengan berita acara pemeriksaan saksi; tak ada satu pun suara yang menyebutkan perjanjian pinjam nama atas nama John Akang.

Frenky Siregar, kuasa hukum Winda, menuturkan keprihatinannya yang mendalam.

 

“Hak-hak klien kami terzalimi, bagai mutiara yang terampas dari genggaman,” ujarnya seraya menyoroti kesulitan mengakses E-court dan kejanggalan dalam hasil pemeriksaan setempat yang berbeda dengan data Inzage.

 

“Hasil pemeriksaan BPN yang hanya menunjukkan titik, namun tiba-tiba menjadi luas tanah di tangan Ketua Pengadilan, ini sangat janggal bagi kami,” tegas Frenky, menggambarkan ironi yang tercipta.

 

Apriyani Sijabat, anggota tim kuasa hukum Winda, turut menimpali dengan temuan terkait waktu Inzage yang melenceng dari panduan resmi PN Rantau. “Kami telah menyusun surat temuan dan kejanggalan ini, agar terang benderang bagi pihak terkait,” terangnya.

 

 

Menanggapi badai keluhan ini, Dimas, Juru bicara PN Rantau, ditemani Aulia, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) PN Rantau, memberikan penjelasan yang mencoba meredakan riak-riak. Kendala teknis pada sistem E-court saat pengiriman berkas, menurut Dimas, menjadi biang keladi tidak dapat diaksesnya kolom Inzage secara elektronik.

 

“Bak kapal yang mogok di tengah laut, berkas tak bisa terunggah,” ujarnya, menjelaskan bahwa Inzage manual menjadi solusi darurat berdasarkan PerMA 622 dan SK MA 207.

 

Terkait tenggat waktu, Dimas menjelaskan bahwa PerMA 622 Pasal 17 mengatur 7 hari setelah pemberitahuan, namun secara manual, Inzage dapat dilakukan sebelum berkas dikirim ke Mahkamah Agung.

 

“Berkas ini belum berlayar ke Mahkamah Agung. Masih ada 65 hari sejak permohonan kasasi,” tegas Dimas.

 

Namun, untuk temuan-temuan para pihak yang tidak dimasukkan dalam Inzage, Dimas angkat tangan, “Itu ranah Mahkamah Agung, kami tak berwenang memberi pendapat,” pungkasnya, bak menutup pintu perdebatan.

 

Di balik hiruk-pikuk pengadilan, sebuah tangan kokoh terulur. Abah Aloy, tokoh masyarakat Desa Margasari Hilir, berdiri tegar bagai benteng, menyokong perjuangan Winda dan John Akang.

 

“Tanah Bu Winda kami jaga, bak harta karun yang tak ternilai, sampai urusan ini tuntas,” tuturnya, mengungkapkan ikatan kekeluargaan yang erat.

 

Ia berharap sengketa ini dapat berlabuh di dermaga perdamaian sesuai janji masa lalu, agar benturan antara masyarakat dan perusahaan tak lagi menjadi momok. Abah Aloy juga membuka kotak pandora tentang kasus serupa yang menimpa banyak warga lokal, tanah mereka terpasung di bawah kendali PT KAP tanpa kompensasi yang jelas.

 

“Dulu kami ikut perusahaan, jadi tahu betul batas-batasnya. Banyak yang senasib dengan Winda, tanahnya dikuasai,” jelasnya. Surat-surat kepemilikan tanah, berupa SKKT yang diterbitkan kecamatan, masih tersimpan rapi, menjadi saksi bisu atas hak yang terampas.

 

 

Kasan, tokoh masyarakat lainnya, melengkapi gambaran kelam ini, menyebutkan setidaknya 150 kepala keluarga yang tanahnya berstatus HGU, terpakai oleh perusahaan sejak 2003 tanpa secuil pun kompensasi.

 

“Mediasi pun bak angin lalu, tak pernah digubris,” tandasnya, menyiratkan keputusasaan yang mendalam. (MJ001)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.