PANGKALPINANG, BERITA-FAKTA.COM – Langit Pangkalpinang seolah menitikkan air mata, menyaksikan drama kemanusiaan yang terkuak.
Bak pahlawan di tengah badai, Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, tampil sebagai lentera harapan bagi 75 warga Babel yang terjerembab dalam jerat pekerja migran ilegal.
Dengan nurani berteriak dan dompet partai terbuka, Didit tak gentar menghadapi kerasnya batu birokrasi dan dinginnya mesin maskapai.
Ia rela merogoh kocek pribadi dan partai hingga Rp 95 juta, demi memulangkan anak-anak Babel yang terangkut ombak janji manis namun terdampar di pulau nestapa.
“Pihak pesawat tidak mau terbang jika tidak ada uang,” tutur Didit dengan nada bergetar namun tekad membaja.
Dalam Rapat Koordinasi Perlindungan dan Penanganan Pekerja Migran Indonesia Asal Bangka Belitung di Sektor Judi Online dan Online Scam di luar negeri, Rabu (9/7) di Swiss-Belhotel.
“Maka, dengan izin Bapak, saya berani kembali pakai uang partai saya yang sudah Rp 95.000.000 demi memulangkan 75 masyarakat provinsi Bangka Belitung.”
Namun, kisah pilu ini belum usai. Bak ujung gunung es, Didit mengungkapkan bahwa masih ada 35 jiwa lain yang terjebak dalam labirin pekerja migran ilegal dan belum berhasil dipulangkan.
Mereka adalah potret nyata dari luka menganga yang diakibatkan oleh praktik ilegal ini, yang tak hanya terjadi di luar negeri, namun juga di Jakarta Utara.
“Kami merasa perlu untuk turun tangan mengatasi kejadian ini daripada semakin banyak terjadi, ini menunjukkan bahwa pemerintah ini belum siap untuk membuka uang terjadi bagi masyarakat,” tegas Didit, mengecam lambannya respon pemerintah terhadap jeritan hati para korban. Ia menekankan, ini adalah cerminan nyata bahwa intervensi negara sangat dibutuhkan untuk melindungi warganya.
Politisi PDI Perjuangan ini juga menyoroti realita pahit di balik keberangkatan para pekerja migran ilegal ini. “Mereka di sana itu bukan untuk berfoya-foya, tapi mereka di sana untuk memperbaiki kehidupan orang tua dan anak-anak di sini,” ujarnya, meluruskan pandangan miring yang kerap disematkan pada mereka.
Momen kepulangan 75 warga Babel ini pun terukir dalam sejarah dengan noda pilu. Didit menceritakan bagaimana APBD tidak memadai dan keberaniannya mengambil inisiatif. Ia bahkan harus menggunakan uang pribadinya terlebih dahulu. “Pada saat ini sudah sampai ke Jakarta, maka itu harus mengembalikan ke 78 orang. Selain itu, APBD kita tidak ada, Bapak,” ungkapnya.
“Alhamdulillah, uang bisa dikumpulkan. Kalau enggak dikumpulkan, saya pasti dikumpulkan oleh pemerintah,” lanjut Didit, menyoroti jurang pemisah antara harapan dan realita birokrasi. Ia berharap, peristiwa ini tak terulang lagi dan pemerintah pusat serta daerah segera mengambil langkah konkret untuk melindungi warganya dari jaring-jaring kejahatan pekerja migran ilegal. (MJ001)











