PANGKALPINANG, BERITA-FAKTA.COM – Bak petir di siang bolong, politikus senior Partai Golkar, Rina Tarol, melontarkan kritik pedas terhadap pengelolaan keuangan dan aset Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Temuan-temuan “horor” yang terus berulang bagaikan lagu lama yang tak kunjung usai, menjadi sorotan utama sang politikus. Ia tak segan menyebut praktik pembelian fiktif dan kelebihan honor sebagai borok akut yang menggerogoti keuangan daerah. Senin,(7/7)
“Ini sudah seharusnya,” ujar Rina dengan nada geram, merujuk pada temuan berulang terkait Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) dan Pejabat Pelaksana Harian (PLH). “Contoh TPP PLH di Bakuda, seharusnya menurut Permendagri, mereka TPP 2080. Tapi yang terjadi, PLH Bupati Bangka Hindu dapat TPP 100%, PLH-nya TPP 100% lagi. Artinya di Bakuda itu ada 200% untuk TPP. Nah itu tidak boleh! Sudah ada Permendagri yang mengatur,” tegas Rina, bak seorang jenderal yang melihat pasukannya tercerai-berai.
Tak hanya TPP, sorotan Rina juga tertuju pada gurita kelebihan honor di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Menurutnya, Direktur BLUD tak berwenang membuat Surat Keputusan (SK) terkait honor, melainkan harus melalui Peraturan Gubernur (Pergub). “Sehingga tidak terjadi dobel, di tempat lain mereka sudah ada honor, di BLUD honor lagi. Jadi honor berkali-kali. Nah ini menjadi temuan besar,” ungkapnya, menggambarkan praktik yang merugikan keuangan negara.
Yang paling membuat Rina miris, adalah kejadian di Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Ia membeberkan modus pembelian alat-alat kimia yang seharusnya melalui proses lelang, namun justru dimenangkan oleh sebuah CV. Namun, di balik layar, CP tersebut hanyalah boneka, seolah-olah membuat berita acara dan performa bahwa barang sudah ada dan dibayar, padahal barangnya gaib.
“Duit itu dikembalikan lagi ke PPK, PPK beli. Ini bukan CP yang membeli. Tapi tidak tahu dinasnya atau PPK yang membeli. Nah beli lewat PT Jakarta. Nah CP hanya dibayar fee mereka. Ini kan tidak boleh, ini benar-benar rusak! Kalau kita tarik-tarik, ini sudah pidana sebenarnya, tidak main-main lagi,” cetus Rina, menunjuk hidung praktik yang terang-terangan melanggar hukum.
Di tengah carut-marut ini, Rina Tarol menaruh harapan besar pada momentum kepemimpinan kepala daerah yang baru. Ia berharap ada semangat baru untuk berbenah dan memperbaiki tata kelola keuangan yang amburadul. “Kalau ini kejadian lagi, sama saja kita kembali lagi ke masa lalu. Kita tidak berusaha memperbaiki, tapi menghancurkan, malah mundur ke belakang,” serunya, bak seorang motivator yang menyerukan perubahan.
Ia pun mendesak Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) untuk menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang punya kompetensi, bukan sekadar karena kedekatan. “Bukan lagi orang-orang yang asal karena kedekatan, tidak punya kemampuan. Kita harus berbenah bagaimana kita bisa, aneh ini,” kritik Rina, menyinggung penempatan pejabat yang tidak sesuai keahliannya. Ia bahkan menyoroti kasus di SMA 2 yang seharusnya ada kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, namun justru orang lain yang ditunjuk sebagai PLH, mengindikasikan adanya “main mata” dalam penempatan posisi.
Rina juga menyuarakan perlunya ketegasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memberikan sanksi agar temuan serupa tidak terus berulang. “Kita minta kepada Pak Gubernur untuk menentukan satu item untuk uji kualitas. Jadi tidak ada lagi pemberian yang berulang-ulang, OPD yang berulang-ulang di titik yang sama. Ini bisa saja indikasinya, kita tidak tahu kok ini lagi, ini lagi,” ucapnya, mengisyaratkan adanya pola yang mencurigakan.
Kasus di DLH yang disebutnya sebagai “modus” pengadaan fiktif, disinyalir bisa menjadi cermin buram bagi OPD lain untuk segera berbenah. “Ini kalau kita tarik, ini akan jadi pidana sebenarnya,” tegas Rina. Ia juga berulang kali meminta Inspektorat untuk diisi oleh orang-orang yang paham dan memiliki integritas, agar mampu mengungkap dan membenahi praktik-praktik yang merugikan.
Tak berhenti di situ, Rina Tarol juga menyoroti permasalahan aset senilai Rp 15 miliar di Rumah Sakit Umum Provinsi. Bahkan, ia mengungkapkan adanya modus “pasien fiktif” atau kelalaian petugas dalam pencatatan pasien. “Modusnya dianggap pasien yang tidak bayar. Jadi ada yang datang, seolah-olah ini sudah berobat, dapat obat, lari. Kan tidak mungkin kalau semuanya enak. Bisa jadi modus ataupun lalainya petugas itu mencatat. Jangan sampai pasien itu dikambinghitamkan atas lalainya mereka,” jelasnya, menyiratkan adanya indikasi penyalahgunaan.
Ia pun mendesak BKPSDM untuk berkoordinasi dengan Direktur PLT Rumah Sakit Umum Provinsi guna membenahi segala permasalahan, mulai dari pencatatan aset, gudang, hingga manajemen secara keseluruhan. “Banyak sekali masalah pelik di sana,” pungkas Rina, berharap adanya perubahan signifikan demi terwujudnya tata kelola keuangan dan aset yang bersih dan akuntabel di Pemprov Babel. (MJ001)











